
BRMP GORONTALO DUKUNG KONSERVASI LAHAN DALAM BUDIDAYA JAGUNG
Jagung merupakan komoditas unggulan Provinsi Gorontalo dan menjadi tulang punggung ekonomi hampir semua petani dan menjadi komoditas ekpsor di daerah ini. Menurut data BPS 2024, meskipun produktivitas jagung Gorontalo masih di bawah rata-rata nasional, namun Gorontalo menduduki peringkat 7 nasional luas panen dan produksi jagung pipilan kering. Salah satu permasalahan dan tantangan peningkatan produktivitas jagung di daerah ini adalah jagung diproduksi pada daerah perbukitan (lahan miring) yang rentan terhadap erosi.
Masalah budidaya jagung di lahan miring menjadi bahasan menarik dalam seminar proposal kajian potensi dan dampak sistem usahatani konservasi dalam budidaya jagung di lahan miring yang dilaksanakan Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapppeda) Provinsi Gorontalo. Acara dibuka oleh Kepala Bidang Riset dan Inovasi Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapppeda) Provinsi Gorontalo
Dalam proposal riset ini peneliti yang beranggotakan Zulham Sirajuddin, PhD., Ketua Tim Peneliti Fardyansyah Hasan, M.S.i, Ivana Butolo, MP, dan Gema Putra Baculu, MPA menawarkan pendekatan teknologi Sistem Usahatani (SUT) Konservasi pada Lahan Pegunungan yang diatur Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 47 tahun 2006, dan pendekatan regulasi melalui Undang-Undang nomor 37 tahun 2014 tentang konservasi tanah dan air.
Zulham mengungkapkan budidaya jagung di lahan miring memiliki kerentanan terhadap erosi dan menjadi permasalahan dan tantangan tersendiri, baik dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
“89,84 persen petani menanam jagung di lahan miring, sedangkan sisanya sebesar 10,16 persen ditanam di lahan datar,” ujar Zulham.
Solusi di lahan miring adalah dengan membuat teras gulud. Di bagian guludan ini ditanami rumput gajah atau odot. Fungsinya untuk memperkuat guludan melalui cengkeraman akarnya, selain itu rumput odot ini bisa dipanen berulang kali dalam satu musim tanam jagung. Melalui pengolahan lahan sesuai garis kontur dan pembuatan guludan akan mampu mengendalikan erosi dan konservasi tanah dan air. Sedangkan penguat teras ditanaman tanaman sela/penguat teras guludan selain tanaman utama jagung memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan. Selain itu petani harus diajarkan teknik budidaya jagung melalui penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang, pengendalian OPT, dan pemanfaatan limbah tongkol jagung menjadi biochar.
“Melalui metode ini erosi dapat ditekan hingga 26 persen,” tutur Zulham.
Dr. Sumarni Panikkai, Kepala Balai Penerapan Modenisasi Pertanian (BPMP) Gorontalo, sebagai salah satu pembahas dalam seminar memberikan dukungan penuh riset ini yang menggunakan pendekatan multidisipliner, baik agronomi, lingkungan, sosial dan ekonomi. Lebih lanjut beliau menyampaikan lahan jagung pada lahan miring membutuhkan teknologi konservasi untuk memotong panjang lereng, sehingga mengurangi kecepatan aliran air yang menyebabkan erosi.
“Konservasi lahan dengan membuat teras gulud dapat dikombinasikan dengan pembuatan rorak untuk memotong panjang lereng dan lubang biopori untuk meningkatkan serapan air tanah,” tutur Sumarni.
Secara teknis, penanaman jagung dapat menerapkan sistem tanam jajar legowo (2 :1) sebagai upaya peningkatan penerimaan intensitas cahaya matahari untuk optimalisasi fotosintesis dan asimilasi serta memudahkan pemeliharaan tanaman, terutama penyiangan gulma baik secara manual maupun dengan herbisida, pemupukan, serta pemberian air.
“Sistem tanam legowo 2:1 dengan jarak 50 cm x 20 x 100 cm. Dua baris jagung ditanam sepanjang sisi rorak dengan jarak antar baris 50 cm dan dalam baris 20 cm, kemudian jarak legowo 100 cm atau ruang kosong legowo dapat dibuat lubang biopori yang jumlah dan jaraknya disesuaikan dengan panjang lahan. Biochar dibenamkan dalam rorak dan digunakan sebagai penutup lubang saat penanaman jagung,” ujar Sumarni.
Selanjutnya beliau memberikan saran SUT konservasi menggunakan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi serta pemanfaatan bahan-bahan lokal yang ada sehingga mudah diadopsi oleh petani, melibatkan stakeholder terkait terutama PPL di lapangan agar SUT Konservasi Jagung mudah didiseminasikan kepada petani, perlu dibuat analisis ekonomi dan sosial SUT Konservasi yang komprehensif agar menjadi pertimbangan bagi petani dalam mengadopsi dan direplikasi di lokasi lain oleh pemda, swasta dan stakeholder lainnya, sehingga pada akhirnya petani tetap bisa menanam jagung dan kualitas lingkungan tetap terjaga. (PS)